Buku Kumpulan Puisi BIAR! karya Nanang Suryadi
Buku Kumpulan Puisi BIAR! Karya Nanang Suryadi |
Sila baca ulasan Yusri Fajar tentang buku ini:
ESTETISISME, REPETISI DAN DONGENG BINATANG[1] Oleh: Yusri Fajar [2]
Menulis puisi bukan proses kreatif dalam ruang hampa. Namun tidak banyak penyair memiliki keinginan mengisi ruang puisi dengan muatan ideologis dan kepentingan di luar seni. Persentuhan penyair dengan lingkungan, manusia dan alam, bisa memengaruhi gaya dan pilihan tema puisi. Tetapi sejauh mana manusia, alam dan berbagai fenomena di sekitarnya direpresentasikan dan dikonstruksi dalam puisi, akan sangat diwarnai oleh kecenderungan penyair—apakah ia akan berkonsentrasi pada struktur internal puisi dan ‘universalitas’ makna atau lebih berkepentingan mengusung ‘seruan’ bahkan ‘perlawanan’ terhadap entitas di luar diri penyair. Puisi-puisi Nanang Suryadi dalam antologi ‘Biar!’ (Indiebook, 2011) menunjukkan otonomi puisi sebagai karya seni yang tidak menjadi kendaraan menyalurkan kritik politik dan sosial. Sementara, permainan repetisi dalam puisi-puisi Nanang menandakan penyair menilai bentuk (form) puisi sebagai bagian dari tradisi penting berpuisi mesti diikuti. Lebih jauh, yang menarik dari puisi-puisi dalam antologi ‘Biar!’ adalah eksplorasi penanda binantang sebagai binatang dan metamofora, serta medium merekonstruksi bahkan meredefinisi tradisi lisan (folklor).
Estetisisme: Puisi tidak ‘Dipolitisasi’
Berada dalam genre puisi dengan haluan estetisisme, puisi-puisi Nanang dalam antologi ‘Biar!’ berada dalam gaya ungkap yang jauh dari hiruk pikuk masalah politik dan ekonomi—meski Nanang adalah seorang akademisi ekonomi dan mantan aktivis mahasiswa. Estetisisme adalah istilah yang digunakan untuk merujuk ‘independensi’ karya seni. Unsur-unsur politik, agama dan moral dalam pandangan ini dianggap tidak relevan dicampuradukkan dengan karya seni. Estetisisme pada mulanya digaungkan beberapa filosof dan sastrawan Jerman era romantik seperti Kant, schelling, Goethe dan Schiller. Kant menekankan ‘kepuritanan’ karya seni; sementara Goethe mengkredokan seni sebagai entitas independen, dan Schiller menegaskan bahwa segala sesuatu yang penting dari karya seni adalah bentuk. Sementara di Prancis Victor Cousin menyampaikan pemikiran I’art pour I’artin (seni untuk seni) (lihat Preminger dan Brogan, 1992). Pandangan ini bertolak belakang dengan realisme-sosial yang termanifestasikan dalam, misalnya, puisi-puisi Wiji Tukul. Nanang, dalam pandangan saya, juga tidak melakukan ‘mimikri’ terhadap intensi-intensi kritik sosial secara langsung seperti yang dilakukan Taufik Ismail dan Rendra.
Nanang memilih dunia kepenyairan tanpa retorika lantang bergaya politisi dan kritikus sosial. Dia memilih menulis puisi dengan ‘keliaran’ imaji dan puisi liris. biar, jika kau tak mau temani. biar kurasakan nyeri sendiri/di puncak sepiku sendiri!.( ‘Biar!’, hal 5). Nanang tidak sedang berkhotbah tentang nilai moral dalam sepi, tetapi ia lebih menekankan atmosfer sepi itu sendiri. Aku liris memilih mengaleniasi diri. Kesepian dan kegelisahan makin terasa dalam puisi ‘Di Pusaran Waktu’ (hal 19): telah dilabuh gelisah pada gusar waktu/hingga larung abu pada sarang angin/gelombang sunyi diri sendiri.Dan kesepian beranjak memuncak dalam puisi ‘Sebagai Kesunyian’ (hal 21): Sebagai kesunyian. Demikian akrab mencintai. Di sudut yang/tersisa dari segala kenangan. Disusun bata demi bata mimpi/sendiri.hingga jadi menara. Menjulang ke langit sepi. O, bisikmu. Di angin lalu. Kerinduan diterbangkan. Ke angkasa senyap. Tiada jawab. Isu tentang sunyi mengurung Nanang dari berbagai penjuru, memaksa dan menariknya dalam bangunan relasional sepi, alam dan diri. Kartukartu dikocok membunuh sepi karena/peruntungan diramalkan lewat gelisah yang memasuki/mimpi kala tidur dan jagamu dengan penuh erang. (Seperti Kekosongan, hal 33). Sepi, gelisah dan mimpi berpadu menjauhkan tokoh dalam puisi dari keramaian.
Saya tak bermaksud seratus persen mengklaim Nanang Suryadi sebagai sastrawan mahdzab estetisisme, karena antologi ‘Biar!’ belum bisa mewakili karakteristik tematik puisi Nanang secara utuh. Namun, seperti yang sudah saya singgung dalam paragraf sebelumnya puisi-puisi dalam antologi ‘Biar!’ mayoritas menjaga jarak dengan hingar-bingar dunia di luar dunia personal-universal, alam dan (metafora) binatang. Pepohonan hidup menari-nari/dipeluk dipagut sepoi hembus berangan angin/di dedahan sajak beburung jiwaku singgah istirah melepas lepas. (puisi ‘Di Dedahan Sajak’, hal 18) Metafora yang digali dari alam untuk menjadi penanda derap kehidupan begitu dominan dalam baris-baris ini. Nanang jelas sekali tidak mengkritisi alam yang kelestariannya mengalami degradasi, namun justru semata menggunakan alam sebagai metafora, sebagaimana mayoritas penyair. Namun, meski terlihat mendekatkan diri dengan khasanah alam dalam beberapa puisinya, bukan berarti Nanang menulis puisi yang terlalu mendayu-dayu dan berkaitan semata dengan perasaan dan emosi manusia. Beberapa kali puisi Nanang menghadirkan ‘teror’ penuh metafor seperti dalam puisi ‘Bulan Merah’ (hal 6), dan ‘Puisi yang Kau Bunuh itu’ (hal 45): puisi yang kau bunuh itu suatu ketika mendatangiku/ia menyeringai dengan gigi yang tajam. Dengan demikian puisi Nanang tidak hanya menghasilkan efek ‘meninabobokan’ namun juga ‘mengguncang’ kesadaran.
Dengan menjaga ruh (seni) puisi untuk (seni) puisi, Nanang juga terlihat dapat lebih total dalam berpuisi. Bahkan ia bisa menikmati kebebasan kreatifnya. Ia leluasa bertutur tentang wilayah yang dikonstruksikan tabu tanpa ragu. /…..ditubuh mana ia akan bereaksi di kelamin mana ia akan berereksi tak/kau tahu karena ingatan demikian lamat/pada benak yang disimpan di lemari pendingin ingatan yang membeku sebeku cairan sperma yang kau titipkan juga di situ satu jam setelah ingatan terakhir tentang bau tubuh perempuan di saat birahi memuncak malam itu. (Bau Tubuh yang Kau Masih Ingat Saat Birahi, hal 56) Kelamin ‘berereksi’ menjadi kata ‘merdeka’ yang dihubungkan dengan cairan sperma dan bau tubuh perempuan dengan suasana penuh birahi memuncak. Puisi ini seperti terimbas atau ‘mengimbas’ polemik sastra kelamin, yang pernah meramaikan khasanah sastra Indonesia, karena kehadiran karya-karya sastra yang dianggap berurusan dengan kelamin seperti ‘Jangan Main-Main (dengan kelaminmu).[3]’ Namun demikian, yang perlu dicatat, urusan ‘kelamin’ ini tidak menjadi warna dominan dalam antologi ‘Biar!’.
Repetisi: Antara Nanang Suryadi dan Sutardji Calzoum Bahri
Dari segi struktur, meski Nanang menegasikan rima—sebagai salah satu unsur konvensional puisi yang diikuti banyak penyair, dia masih setia menggunakan teknik repetisi. Repetisi bisa meliputi bunyi, suku kata, kata,frasa, bentuk metrikal dan struktur sintaksis. Dalam antologi ‘Biar!’ Nanang lebih banyak terfokus pada repetisi kata, frasa dan sintaksis dalam baris. Sekepak sayap sekepak sayap menempuh tempuh/disayat hayat disayasayat hingga mayat hingga tamat.(Puisi di ‘Pusaran Waktu’, hal 20) Dalam bait selanjutnya pengulangan frasa ‘sekepak sayap’ diulang lagi. Terbang mengepak dari matamu/menempuh tempuh sekepak sayap sekepak sayap/. Repetisi semacam ini selain dilakukan untuk menghasilkan ritme indah berulang-ulang juga memberikan penegasan dominasi peristiwa atau atmosfer tertentu yang terjadi berulang-ulang. Apa pun yang diulang-ulang akan membentuk kesadaran bawah sadar penyair yang pada waktu tertentu menjelma ketagihan yang mendorongnya melakukannya lagi karena ia terbiasa merasakan keindahan permainan repetisi. Pengulangan yang dilakukan Nanang baik secara sporadis maupun terstruktur, sebagian atau seluruhnya menjadi ciri khas puisi-puisinya. Pengulangan sporadis, meloncat-loncat, bisa ditemukan di baris atau bait manapun seperti dalam puisi ‘Pusaran Waktu’ di atas.
Sementara pengulangan ‘terstruktur’ seringkali dilakukan dalam bait penutup, dengan cara mengulangi kembali bait yang sama dengan bait pembuka. Nanang melakukan repetisi terstruktur ini dalam puisi ‘Di Dedahan Sajak’. Dalam bait pertama dia menulis “di dedahan sajak beburung jiwa singgah/istirah melepas lelah/” Di bait terakhir puisi ini Nanang menulis baris-baris yang sama, hanya ada perubahan kata ‘jiwa’ menjadi ‘jiwaku’. Jika ini adalah salah ketik—maksud saya jika kata ‘jiwa’ dalam bait pertama mestinya ‘jiwaku’ atau kata ‘jiwaku’ dalam bait terakhir mestinya ‘jiwa’ maka repetisi itu bersifat total. Namun jika memang yang tertulis di bait pertama ‘jiwa’ dan di bait terakhir ‘jiwaku’ berarti Nanang melakukan repetisi di bait terakhir sekaligus melakukan distorsi keaslian bait pertama untuk menjawab pertanyaan pembaca tentang sebenarnya ‘jiwa’ siapa dalam bait pertama. Jika demikian, bait terakhir bisa dianggap resolusi dari ‘misteri’ yang digulirkan di bait pertama.
Lalu, apakah Nanang memang ketagihan melakukan pengulangan-pengulangan dalam puisi-puisinya? Jika menilik puisi-puisi Nanang maka repetisi ini telah menjadi candu bagi Nanang, dan dengan demikian bunyi berulang telah dipilih untuk memberi warna tersendiri dalam bentuk puisi-puisinya. Pengulangan-pengulangan baik kata, frasa dan kalimat bisa ditemukan dalam puisi-puisi, untuk menyebut beberapa saja, “Kalong, Kupu, Bunga, dan Kau yang Memanah” (hal 13), “Batu Hitam’ (hal 24) “11:37:56 7/08/2002” (hal 27), “Sintaksis Teka-Teki” (hal 34), “Karena Diksi” (hal 36), “Mungkin” (hal 48) “Dongeng Daun” (hal 50) “Mungkin Engkau demikian Letih” (hal 71) “Imaji” (hal 79) “Tanah Air Api Udara” (hal 103). Pengulangan-pengulangan ini tentu saja menghasilkan bunyi-bunyi ritmis yang berulang. Pada konteks ini, seni puisi sebagai seni berada dalam pengaruh estetisisme. Tokoh lain, selain yang saya sebut sebelumnya, dalam gaya berpuisi semacam ini adalah Alexander Poe yang menyatakan bahwa puisi adalah kreasi ritmikal dari keindahan (The Poetic Principle, 1850). Yang perlu dikritisi dari sebuah repetisi dalam puisi adalah, terlepas dari fungsi positifnya untuk menjaga ritme dan keindahan sebuah pengulangan (kesamaan), repetisi yang terlalu monoton dan tidak kreatif akan melahirkan kebosanan dan keterkekangan kreativitas.
‘Candu’ repetisi yang pernah menghinggapi Sutardji tampaknya membuat tertarik juga Nanang Suryadi. Pengulangan frasa/kalimat secara penuh dan sebagian secara intens dilakukan Sutardji dalam kumpulan puisi ‘O Amuk Kapak’ (Penerbit Sinar Harapan, 1981). Puisi-puisi Sutardji dalam antologi ini— seperti yang berjudul ‘Dapatkau; (hal 21), ‘Mari’ (hal 25) ‘Jadi’ (hal 27) ‘Biarkan’ (hal 35), ‘Soliture’ (hal 35) ‘Sudah Waktu’ (hal 81)—dipenuhi repetisi. Jika Sutardji melakukan repetisi kata dengan membelah-belah/memisah-misah suku katanya dan bahkan merubah susunan suku kata—misalnya kata ‘kawin’ menjadi ‘winka’ dan kata ‘kasih’ menjadi ‘sihka’ (puisi ‘Tragedi Winka dan Sihka’), maka Nanang hanya bersetia dalam repetisi kata, frasa dan kalimat saja, tanpa melakukan pembelahan atau penjungkirbalikan suku kata. Lebih jauh jika Nanang masih menjaga ‘kerapian’ topografi puisinya, Sutardji mendekonstruksi topografi puisi-puisi konvensional dengan membuat susunan baris-baris yang zig-zag dan kata-kata di dalamnya berjauhan antara satu dan lainnya. Sutardji sebagai penyair yang puisi-puisinya dijuluki puisi mantra memang cukup total melakukan dekonstruksi, baik sintaksis dan semantik.
Repetisi dalam puisi Nanang, yang secara subtansial saya katakan ada kemiripan dengan gaya Sutardji, terlihat jelas misalnya dalam puisi yang berjudul ‘Sintaksis Teka Teki—bagi scb’ (hal 34) dan ‘Tanah Air Api Udara’ (hal 102). Dalam puisi ‘Tanah Air Api Udara” frasa “tanah air api udara’ diulang sebanyak 88 (delapan puluh depalan; sebuah pengulangan berlebihan yang menciptakan kesan permainan bentuk semata sehingga terjadi degradasi keindahan dan kepadatan isi. Jika dalam paragraf sebelumnya, Nanang Suryadi menolak melakukan mimikri tematik dan bentuk puisi-puisi realisme sosial, maka pada konteks ini, intetekstualitas dengan puisi Sutardji, puisi Nanang secara gaya,sebagian, merupakan mimikri dari puisi-puisi Sutardji. Peniruan, entah sebagian atau seluruhnya, dalam dunia seni dan budaya bisa dipandang legitimasi sekaligus resistensi entitas yang ditiru. Meminjam perspektif poskolonial, saya berasumsi bahwa sebuah peniruan seringkali dilakukan terhadap tradisi (berpuisi) yang dianggap superior dan dicitrakan tinggi. /…Siapa paling besar di/ antara paling besar/. Engkaukah?../ (Tak sampai Engkau—:scb, hal 49). Apakah ‘scb’ yang dicantumkan Nanang dalam judul puisi ini dan puisi ‘Sintaksis Teka Teki—bagi scb’ “adalah Sutardji Calzoum Bahri? Saya tak bisa menduga secara pasti. Namun superioritas telah lama menjadi citra Sutardji. Namun Nanang tak sepenuhnya mengikuti dan menjiplak gaya Sutardji. Nanang melakukan percampuran dan ‘diversifikasi’ gaya, meramunya dalam hibriditas yang mendekonstruksi hirarki dan kategorisasi gaya puisi.
Nanang dalam Bayang-Bayang Binatang
Untuk memperkaya metafora dan isi puisi, Nanang tak hanya bertumpu pada alam namun juga binatang. Dalam puisi-puisi Nanang, binatang menjadi metafora dan binatang sendiri. Jika pun menjadi binatang itu sendiri, binatang dipuisikan (didongengkan) Nanang sebagai makhluk yang menembus batas-batas normal sebagai binatang, sehingga mengundang khayalan dan pertanyaan./….seekor ikan/yang ribuan tahun ada di kedalaman dengan sisik tebal dengan mata buta dan dilahirkan seperti mamalia bukan menetas dari telur-telur seperti burung-burung atau ikan-ikan lain yang berinsang karena memiliki paru-paru yang/memompa udara dalam tubuhnya berputar-putar terus tak/pernah habis kecuali suatu ketika ia akan mati layaknya pertapa…../ (Dongeng Ikan di Laut Dalam, hal 66). Sebagai dongeng, konstruksi tokoh ikan memang bisa digambarkan memiliki keanehan bahkan keajaiban yang jarang bisa ditangkap logika manusia. Dengan gaya ‘berdongeng’, puisi makin menemukan keliaran imajinatifnya. Nanang menyadari fiksionalitas dongeng, sehingga ia menutup puisinya ini dengan baris:karena tak pernah ada terlintas dalam benakmu ikan seperti itu ada di kedalaman sana/. Konsep dongeng yang jauh dari realitas berarti masih membayangi pikiran dalam penciptaan puisi ini. Namun Nanang membuat dongeng versinya sendiri—bukan mengadaptasi dongeng-dongeng yang telah ada dalam khasanah folklor Indonesia yang mayoritas dituangkan dalam bentuk prosa.
Nanang kembali mendongeng tentang binatang dalam puisinya yang berjudul ‘Dongeng buat Dimas Tentang Seekor Kucing’ (hal 51). Seekor kucing tak henti mengeong, mungkin ia haus/mungkin ia Lapar/melompat ia ke sebuah buku, mengeong mencabik/merangsak mencari engkau. Kata kucing dalam bait ini bisa menjadi penanda dengan makna denotatif yaitu binatang berkaki empat yang biasa mengeong untuk mencari perhatian. Kucing dalam puisi ini, sebagaimana beberapa binatang lain—seperti anjing yang menyalak dan menggonggong, bersosialisasi dengan manusia. Relasi dua entitas berbeda (binatang dan manusia) dalam perspektif ini mengingatkan dongeng-dongeng dalam khasanah folklor Indonesia, seperti dongeng bertokoh kancil dan yuyu kangkang. Namun Nanang merekonstruksi konsep dongeng dengan membebaskan peran binatang, tidak semata sebagai penanda nyata, tetapi juga metaforis. Seperti pernah juga kucing itu memasuki darah para pecinta/ hingga para pecinta menjadi kucing yang mengeong (Dongeng buat Dimas tentang Seekor Kucing, hal 51). Manusia dianggap bisa dipengaruhi sifat seperti sifat kucing dan diam-diam mengeong karena ‘kebutuhannya’ belum terpenuhi.
Jika dalam ‘Dongeng Ikan di Laut Dalam’ Nanang membayangkan fisik ikan sebagai binatang sebenarnya, meskipun dengan berbagai ketidakmungkinannya, dalam puisi berjudul ‘Seekor Naga’ Nanang menggunakan Naga sebagai metafora. Seekor naga/mengamuk/menggeliat deras di dalam dada/waktu menggoncang-nggoncang/ di moncong uap panas sembur api ludahnya/panasnya tak henti mendidihkan semesta.(Seekor Naga, hal 98) Mengenali keganasan dan ciri khas naga menjadi prasyarat menjadikan naga sebagai metafora. Dalam khasanah folklor dunia, misalnya di Eropa dan Asia, naga (the dragon) telah lama menghiasi fabel dan legenda. Naga adalah makhluk yang dianggap memiliki sifat seperti iblis dan setan. Jika sifat-sifat destruktif naga bersemayam dalam diri manusia dan manusia tak mampu meredamnya, maka kedamaian dan keindahan bisa ternegasikan—bahkan nilai luhur kemanusian bisa hancur. Sifat seekor naga yang mengamuk bisa: menderaskan air mata api/mempuingkan segala ingin, hingga arang hingga abu/dalam diri. (Seekor Naga, hal 98) Naga dalam puisi ini merepresentasikan ‘id’ ( baca: nafsu) yang dalam pandangan Sigmund Freud bisa sangat destruktif jika tidak mendapat kontrol dari ‘superego’ (yang terkait dengan nilai, norma, aturan). Yang menarik dari metafora naga dalam puisi ini adalah tawaran meredam keliaran ‘Naga’ dalam diri manusia dengan puisi.dalam diri, seekor naga mengamuk/meminta sesaji puisi. (Seekor Naga, hal 98). Puisi diposisikan sebagai antitesis dari amukan, kerusakan dan angkara murka. Keindahan dan ‘kelembutan’ puisi adalah peredam. Namun jika puisi justru menjadi alat provokasi dan propaganda permusuhan, maka kehidupan, yang dibayangi sifat desktruktif ala naga yang dideskripsikan Nanang, akan menghiasi hari-hari manusia.
Apakah puisi-puisi estetisisme, penuh permainan indah repetisi, dan diwarnai dongeng menarik, seperti yang ditawarkan Nanang Suryadi, yang akan menjadi ‘sesaji’ peredam diri yang mudah dan sedang diamuk angkara karena kehilangan sentuhan humanis dan keindahan?
Balearjosari dan kampus FIB, 15 April 2011
[1] Disampaikan dalam acara ‘launching buku antologi puisi ‘Biar!’ karya Nanang Suryadi di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya pada Minggu, 17 April 2011.
[2] Yusri Fajar, pengarang dan staf pengajar sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, mengikuti short course di Leeds University Inggris tahun 2007 dan menyelesaikan studi bidang sastra dan budaya di Universitas Bayreuth Bayern Jerman (2008-2010). Puisinya terhimpun dalam antologi bersama “Pesta Penyair” (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), “G30S” (Antologi puisi Gempa Padang, 2009),“Tanah Pilih”(Temu Sastrawan Nasional di Jambi 2008), “Kenduri Puisi” (Penerbit Ombak Yogyakarta, 2008), “128 Penyair Menuju Bulan” (Antologi Penyair Nusantara, 2007), “Pasar Yang Terjadi pada Malam Hari “(Antologi Penyair Mutakhir Jawa Timur, 2008). Sementara cerpennya dimuat dalam antologi “Pledooi” (Mozaik Community 2009), Antologi Cerpen Festival Trowulan Majapahit (2010) dan media massa.
[3] Djenar Mahesa Ayu pernah menulis kumpulan cerpen berjudul ‘Jangan Main-Main (dengan kelaminmu)’ (Gramedia, 2004) yang dalam cerpen ‘Jangan Main-Main (dengan kelaminmu) ini’, Djenar misalnya mengulang-ngulang kalimat ‘awalnya memang urusan kelamin’. Perayaan kebebasan menulis kelamin, relasi laki-laki dan perempuan, tanpa ragu juga dinarasikan Djenar. “Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin.” (Djenar, 2004: hal 1) Kumpulan cerpen Djenar ini meramaikan polemik ‘sastra seks dan kelami
Komentar
Posting Komentar